CERITA
DEWASA - “Agus jaga..”. Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami,
anak-anak yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung Ma’
Ati yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. .Aku merangkak masuk di bawah meja
warung itu, Ayu mengikutiku dari belakang dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku
mengintip lewat celah kecil di gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan
untuk lari keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada
dekatnya. Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku.
Apakah ini yang namanya “cinta anak-anak”? Aku tak tahu. Yang aku tahu Ayu
memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku bilang
begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya cocok kalau aku
jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan lain Ayu cuma mau ikut
dalam kelompokku. Teman-temanku sering memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa
kecil kami memang menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan
teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota lain. Waktu
itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak pernah dengar kabar
apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Ayu.
Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
SITUS RESMI JUDI ONLINE
“Eh
Rik, apa kabar?”
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.
“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Rik, dia Ayu.”
“Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu.”
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
“Ini Riki, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.
Kami bersalaman.
“Wah, sudah gede sekali kamu Ayu.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil tertawa.
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.
“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Rik, dia Ayu.”
“Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu.”
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
“Ini Riki, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.
Kami bersalaman.
“Wah, sudah gede sekali kamu Ayu.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil tertawa.
Tertawanya
dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada tertawanya ketika ia kecil.
Aku benar-benar terpesona melihat Ayu, aku ingat Ayu kecil memang cantik,
tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah karena dandanannya? Ah, tidak,
sekalipun tidak berdandan aku pasti juga terpesona. Gaun pestanya yang kuning
itu memang tidak mewah, tetapi serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai.
Bahunya terbuka, buah dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu
membedakannya dengan Ayu kecil yang pernah kukenal.
“Sudah
sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain,” kata oomku seraya
meninggalkan kami.
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
“Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?”
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya, perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu.”
“Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
“Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?”
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya, perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu.”
“Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”
Kira-kira
satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu umurku 22, dia
juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan umurku). Perasaan yang
pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil tampaknya mulai bersemi kembali.
Rasanya tak bosan-bosan aku memandang wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta
anak-anak itu mulai digantikan dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga
tidak tahu apakah ia merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati
padanya. Malam itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.
Sekembali
ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah terlambat dia membalas
suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika ia menyuratiku akan berkunjung
ke Bandung mengantar ibunya untuk suatu urusan dagang. Memang setelah ayahnya
pensiun, ibunya melakukan dagang kecil-kecilan. Aku senang sekali atas
kedatangan mereka. Kucarikan sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku.
Hotel itu sederhana tetapi cukup bersih.
SITUS POKER UANG ASLI
Pagi
hari aku menjemput mereka di stasiun kereta api dan mengantarnya ke hotel
mereka. Sore hari, selesai kuliah, aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati
sate yang dijual di pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan
menikmati udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai
bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di bahunya yang
tertutup oleh jaket. Kami berjalan menempuh jarak beberapa kilometer, jarak
yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi anehnya kami merasakan
jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami masih melanjutkan pecakapan di
serambi hotel sampai lewat tengah malam, sementara ibu Ayu sudah mengarungi
alam mimpi. Besok sorenya aku ke hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun
untuk kembali ke kota mereka. Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu
sedang mengemasi barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu.
Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat
pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku berjalan dan
berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya dari belakang,
kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
“Ayu,
bolehkah ..?”
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
“Sorry Ayu, bukan maksudku ..”
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, “Ayu, sorry ya dengan yang tadi.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
“Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami.”
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
“Sorry Ayu, bukan maksudku ..”
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, “Ayu, sorry ya dengan yang tadi.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
“Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami.”
Hubungan
surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap serius. Aku
sering membuka suratku dengan “Ayuku tersayang”. Kadang-kadang kukirimi dia
humor atau kata-kata yang nakal. Dia juga berani membalasnya dengan nakal.
Pernah dia menulis begini, “Sekarang di sini udaranya sangat panas Rik, sampai
kalau tidur aku cuma pakai celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku
juga).”
Membaca
surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang
diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan
adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari diriku
akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang kugunakan untuk
membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa saja, yang membuat ia
merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi aku tak pernah cerita pada dia
tentang ini.)
Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Aku
tiba pagi hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku
melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di jari
manisnya.
“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”
Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
“Aku bereskan meja dulu.”
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”
Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
“Aku bereskan meja dulu.”
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore
harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika nonton
itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang nonton kami
duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan. Kami hanya ngobrol-ngobrol
biasa karena orang-orang di rumah itu masih belum tidur. Ayu membuat secangkir
kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh rumah mulai sepi, orang tua dan adik Ayu
sudah masuk ke kamar tidur masing-masing. Hanya tinggal aku dan Ayu di ruang
tamu. Ia duduk di sofa di sebelah kananku.
Dari
obrolan biasa aku mulai berani. Kulingkarkan tanganku dibahunya. Ayu diam saja
dan menunduk. Dengan tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku
ke wajahnya, kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan
matanya membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar.
Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di kepalanya).
Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan
tangan kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya,
dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku
melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan bahkan
menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau rambutnya. Aku pun
tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap diam dan tampaknya ia
menikmatinya.
Setelah
beberapa saat ia menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia
menaruh tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap
isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke sela yang
sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh penisku, jari-jarinya yang tadi
pasif sekarang mulai aktif. Walaupun masih terhalang oleh celana dalam, ia
mengusap-usap di situ. Aku melangkah lebih jauh lagi, tanganku yang berada di
dadanya sekarang memasuki dasternya, menyusup di sela-sela BH-nya dan
kuremas-remas payudaranya langsung. Payudaranya memang tidak terlalu besar
tetapi cukup kenyal dalam remasanku. Dia tak mau kalah, tangannya menyusup
masuk ke celana dalamku dan langsung menyentuh penisku lalu mengenggamnya.
Bergetar hatiku, baru kali itu penisku disentuh seorang gadis, gairahku
melonjak. Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak
tahan .. menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana dalamku. Aku
mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan tangannya dari celanaku
dan melihat tangannya yang basah.
SITUS DOMINO UANG ASLI
“Kental
ya Rik,” bisiknya.
“Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku kecewa.
“Aku tahu Rik,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.
“Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku kecewa.
“Aku tahu Rik,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.
Malam
kedua. Seperti halnya malam pertama, setelah suasana sepi kami memulai dengan
berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku mencoba
lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya, lalu lidahku
masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa manis dan segar di
mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas sebelumnya. Lalu kami main
remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak memakai BH hingga lebih mudah bagiku
meremas-remas payudaranya. Seperti kemarin tangannya pun meraba-raba penisku.
Aku sudah khawatir kalau aku akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya
tidak. Aku juga ingin melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke
bawah, kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia
menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu kami cuma main
remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya, dan dia membelai-belai penisku
sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga hingga cairanku
menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti kemarin. Tetapi aku lebih
senang karena kami bisa bermain-main lebih lama. Aku merasa ada kemajuan, aku
lebih percaya diri.
Malam
ketiga. Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan saling berciuman di
sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa sebuah
buku seksologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka pada halaman
yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara bekerjanya alat itu.
Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru biologi aku menunjukkan
contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku. Kuturunkan celana dalamku hingga
penisku menyembul keluar dan kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda
dengan yang di gambar, kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak.
Ayu memperhatikan penisku itu.
“Itu
lubangnya ada dua ya?” tanyanya, “Satu untuk kencing, satu lagi untuk
ngeluarin?”
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?” sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
“Biji salak kali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
“Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar,” bisikku. Diapun menurut, dia masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?” sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
“Biji salak kali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
“Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar,” bisikku. Diapun menurut, dia masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.
Ia
pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan menurunkan celana
dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali itu aku melihat alat
kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di gambar-gambar. Tanganku pun
menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu jariku membuka celah di situ dan
kulihat basah di dalamnya.
“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca buku seksologiku ada bagian yang namanya “labia majora”, ada “labia minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
“Sudah ah, malu,” katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
“Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”
“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca buku seksologiku ada bagian yang namanya “labia majora”, ada “labia minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
“Sudah ah, malu,” katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
“Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”
Susasana
hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali mengusap-usap
penisku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya (dasternya masih
menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di balik celana dalam itu
dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku merasakan basahnya. Kurebahkan dia
di sofa, kutarik celana dalamnya. Tapi Ayu menolak tanganku dan berbisik,
“Di kamar saja Rik.”
“Di kamar saja Rik.”
POKER ONLINE UANG ASLI
Aku
sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
“Kamu masuk duluan,” katanya.
Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
“Kamu masuk duluan,” katanya.
Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
“Rik,
masukkan saja..,” bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya. Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak mengerang.
“Pelan-pelan Rik,” bisiknya.
Kudorong penisku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang paling peka.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya. Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak mengerang.
“Pelan-pelan Rik,” bisiknya.
Kudorong penisku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang paling peka.
Kenikmatan
makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia
memelukku erat-erat seraya merintih,
“Rik, Rik,..” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Ayu..” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
“Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,” katanya.
“Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami pun tertidur.
“Rik, Rik,..” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Ayu..” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
“Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,” katanya.
“Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami pun tertidur.
Menjelang
pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan dasternya.
“Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi.”
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
“Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu.”
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik,” candanya.
“Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi.”
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
“Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu.”
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik,” candanya.
Ia
pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia mengecupi
leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir di bibirku.
Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku, sebentar dalam
mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit, mengarahkan lubangnya ke ujung
penisku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke belakang hingga penisku masuk ke
dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di perutku. Tanganku meremas-remas payudaranya
dan ia menggoyang-goyangkan tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak
terlalu cepat tetapi semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah
dalam pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih
tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan tubuhku.
Beberapa
saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata
yang kami ucapkan, tetapi tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan
seluruh perasaan kami yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat
sudah, ia mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun
tertidur dengan rasa bahagia.
DOMINO ONLINE UANG ASLI
Malam
keempat. Kami mulai dengan bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau
berlama-lama di situ, kami pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia
melepaskan dasternya. Aku juga melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster
itu ia mengenakan blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat
berwarna biru muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di
balik blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan
itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang. Aku terpesona
melihat Ayu berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi. Rambutnya yang
bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi dengan yang dipakainya.
Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya. Kalau saja aku bisa memotretnya
pasti tiap malam kupandangi foto itu dengan penuh pesona.
“Luar
biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?”
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.
Kulepas
celana mini dan blousenya. Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh
kami. Aku duduk dan ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami
saling menempel. penisku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan
rambut-rambutku, hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera
kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami bercumbu rayu
dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya, malam itu kami melakukan lagi
dua kali.
Esoknya
aku harus kembali ke kotaku. Hari itu Ayu mengambil cuti seharian ia
menemaniku. Sore hari Ayu mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya
berkaca-kaca ketika aku menyalami dia.
“Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
“Aku pasti datang lagi Ayu,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.
Ayo gabung dengan www.pokerv99.net dan nikmati Bonus Rollingan 0.5% dan Bonus Refferal 20%
Contact :
Daftar : https://goo.gl/r2IcV4
Pin BBM : 7BBCAB0B
LINE : POKERV99
WECHAT : POKERV99
HP / WhatsApp : +855-9666-97336
Facebook : https://www.facebook.com/SitusResmiPokerOnlineTerpercaya/
“Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
“Aku pasti datang lagi Ayu,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.
================================================================================
Welcome to Situs Resmi Judi Poker Domino Online Terpercaya
Minimal Deposit & Withdraw Rp. 25.000
Ayo gabung dengan www.pokerv99.net dan nikmati Bonus Rollingan 0.5% dan Bonus Refferal 20%
Contact :
Daftar : https://goo.gl/r2IcV4
Pin BBM : 7BBCAB0B
LINE : POKERV99
WECHAT : POKERV99
HP / WhatsApp : +855-9666-97336
Facebook : https://www.facebook.com/SitusResmiPokerOnlineTerpercaya/
0 comments:
Post a Comment